#1702-2

Itu bunyi apaan sih? Suara anak kecil dari kamar sebelah. Mengganggu sekali. Aku ingin menyelesaikan lintingan terakhir, untuk stok seminggu ke depan.

Oh, have I told you that I hate kids?

Ini bukan tentang menghindari komitmen atau apapun yang berhubungan dengan itu. hanya saja anak kecil itu adalah monster paling berbahaya yang pernah ada di muka bumi. Ironisnya, se brengsek brengseknya mereka menghancurkan mood kita, semua orang tetap akan berkata, “ayolah, dia hanya anak kecil..” dan kita hanya bisa menyilangkan tangan dan memakan kekesalan untuk diri sendiri.

Di malam Natal 2007, aku menghardik keponakanku yang rambutnya jabrik dan kerjaannya menyingkap rok. 5 menit kemudian seluruh keluarga besarku menganggap aku mafia Itali yang tidak punya perasaan. Ya, Natal 2007. Kami selalu berkumpul di bawah perapian di villa Om ku yang sekarang terkena Obesitas dan tidak bisa turun dari kursi malasnya karena perutnya bisa kalian gunakan untuk kasur air. Bergelambir dan berlemak. Sangat tidak sehat. Toh berkumpul bersama keluarga besar itu tidak selamanya tentang tertawa dan bahagia bersama. Terkadang, berkumpul bersama keluarga itu hanya mempertemukan kembali akumulasi-akumulasi luka dan permsalahan yang sudah lama lewat, dan berpesta dengan argumentasi-argumentasi yang tidak akan berakhir sebelum ada yang frustasi dan membanting pintu. Keluargaku sendiri, mereka terlalu logis. Pandangannya merengkuh cakrawala teratas, membuat aku menjadi manusia yang terlalu visioner, dan melupakan tanah merah dimana aku biasa berpijak. Semuanya terasa terlalu logis sekarang. Meninggalkan rumah tidak pernah terasa salah.

Lintingan yang ini terlalu gendut nih, mesti di renovasi lagi. Segera aku buka dan menemukan ternyata masih ada batang-batang yg belum dipisahkan. Ah no wonder harganya murah, pikirku.


Btw, siapa sih ni di kamar sebelahku ? A married man? Apakah selingkuh-able?


With everything that comes with curiousity
Alexia Raisha Tumangga

#1702-1

Oke, aku tidak akan membuat ini menjadi sebuah deskripsi yang dramatis, dengan pilihan kata yang njelimet.

Dua minggu ini aku berpangku tangan setiap melihat dua brosur apartemen yang menjadi pilihan terakhir saya. Semoga pilihan yang satu ini baik.

Ha? Kenapa? Bagaimana dengan kamar lama saya? Ya, kamu tahulah. Hubungan kami memang sudah seharusnya berakhir sejak lama. Dia terlalu penuntut dan aku hanya merindukannya saat dia tidak ada. Jadi ya aku memilih untuk mengalah. Duit hasil patungan untuk membayar sewa apartemenku yang lama, aku relakan dan sebagai gantinya aku boleh membawa televisi 14 inci kami. Sampai sekarang suka bingung dengan pasangan-pasangan yang terburu sekali ingin hidup satu atap, dengan atau tanpa cincin di jari manis mereka.

Mungkin mereka belum sadar, betapa sulitnya berbagi comfort zone. Keegoisan itu adalah anugerah. Tanggung jawab itu kotoran kuda.

Maka berdirilah aku di depan koridor kamar. #1702. Tidak suka nomornya. Tapi tidak suka akan hal-hal mistis juga. Urutan angka-angka itu tidak terdengar enak saja. Entahlah. Kuncinya agak tersangkut bila aku buka dengan cara memutarnya langsung. Jadi sepertinya suatu hari aku akan berakhir mengetuk kamar depan atau sebelah, meminjam sesuatu untuk mendobrak masuk kedalam. Hanya jaga-jaga. Salah sendiri juga terlalu banyak menonton serial Friends, jadi bayangan hidup di Apartemen itu jadi selalu mengarah kearah joey dkk.

Kenyataannya? Apartemen itu hanya sebuah bukti, bahwa kita semua adalah insan-insan kesepian, yang tenggelam di dalam rutinitas. Apartemen itu sangkar. Sangkar dimana manusia tidak lagi butuh halaman belakang rumah mereka, tidak butuh teras untuk menerima tamu, tidak butuh selapang rumput untuk menyapa tanaman. Yang mereka butuh hanya wanita untuk one night stand, delivery service Chinese Food, dan berbotol-botol liquor untuk melarikan diri dari kesendirian mereka.

And here I am, melanggar janji di paragraph pertama untuk tidak njelimet. Susah sekali untuk tidak mengeluh, dengan situasi di sekitar kita. Entah aku yang kelewat normal apa dunia yang semakin gila.

And here I am, doing all the bullshit I said before. Entahlah. Di koridor lantai saya tinggal di apartemen terdahulu, di kiri kanan aku adalah mereka yang murung. Mereka yang terlalu lelah akan kenyataan bahwa mereka harus membeli susu untuk anaknya dengan gaji yang pas-pasan. Mereka yang terbangun di pagi hari dan tersadar bahwa mereka menikahi seekor monster yang kerjaannya meledak hanya karena problema yang sederhana.

Kalian juga pasti se-pesimis itu kan? Iya kan?
Nevermind.

Lantainya agak reyot ya? Itu bunyi “ngikngok” dari lantai apa dari pintu ya? Apa dari jendela? Aku lebih suka membereskan kamar pada saat pagi buta. sepertinya “selera tata letak” menjadi tinggi bila dilanda rasa kantuk. Dulu di pukul segini, biasanya kami sedang bertengkar. Entah apapun yang menjadi bahan pertengkaran. Dia sering membanting sesuatu. Dia mengancamku dengan semua ancaman terseram sedunia. Sekarang, aku duduk di sofa sendirian. Menikmati setiap detiknya untuk tidak terikat suatu apapun. Melarikan diri tidak pernah sepuas ini.

Akhirnya kembali menjadi manusia seutuhnya. Aku bisa melarikan diri di apartemen ini. Lantai reyot bukan masalah lagi ketika hidupku tidak lagi alot. Apa yang harus dibanggakan bila sudah membohongi diri sendiri? in the end of every race, realist comes first.

with everything that comes with curiosity,
Alexia Raisha Tumangga

#1706-2

Biiip
Pesan masuk ke telepon genggamku. Aku yang masih antara sadar dan tidak mau tidak mau membuka mata, dan membaca pesan yang masuk tadi.

“Gw udah dibawah. Buruan jemput”

Aaah, dasar adik manja. Bukannya langsung naik saja ke lantai 17, malah minta jemput di lobby. Dia pasti tidak tahu tadi malam saya mabuk berat. Kantor tempatku bekerja ulang tahun yang keenam. Semua prajurit dari Jakarta tumplek di salah satu tempat hiburan malam di tengah kota Bandung. Kami berpesta hingga pagi, dan aku baru bisa tertidur pukul 10 pagi. Senang rasanya kembali berkumpul bersama mereka.

Kulirik jam yang berdiri diatas nakas. Pukul 17.00. Akhirnya aku paksa bangun. Haruskah sikat gigi dan cuci muka? Buat apa? Kuputuskan hanya menutupi piyamaku dengan long coat dan langsung turun ke lobby apartemen seguni. Awas kalau adikku datang tanpa buah tangan, akan kusuruh tidur dikamar mandi. Hehe.

“Lama deeeeeeeeh!” omelan si adik langsung menyapa begitu aku keluar lift. Malas ku jawab, hanya ku toyor jidatnya yang lebar sambil menggiringnya menuju lift. Aku masih terlalu mengantuk,dan kepalaku seperti diganduli beban seberat 10 kilogram. Sepertinya hangover.

Ting,

Lift berhenti sejenak dilantai 15. seorang gadis berperawakan kecil keluar dengan tergesa-gesa sambil berusaha mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Mungkin mencari kunci kamar. Lift menutup dan melanjutkan perjalanan.

“lantai ini ga enak banget auranya. Yang ninggalin juga gede banget. Item.” Adikku tiba tiba nyerocos tanpa ditanya.

Aku maklum, adikku memang dianugerahi kemampuan melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Tapi biasanya dia tidak akan bercerita tentang apa yang dia lihat kalau penampakan tersebut tidak terlalu menakutkan.

Akhirnya sampai di lantai 17. dari depan lift dapat kulihat seorang kurir berdiri didepan pintu kamarku. Dia terlihat bingung.

“Ada apa mas?” aku bertanya sambil memperhatikan kurir ini dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namanya Saipul, tertulis jelas di id card yang ia gantungkan di leher.

“Ini mbak ada paket untuk Vivo Mwenyewe. Alamatnya di Apartemen Seguni lantai 17,kamar 1701. tapi daritadi saya bunyikan bel kamarnya tidak ada jawaban. Boleh saya titip ke mbak aja? Saya masih harus mengantar 3 paket lagi ke arah timur kota bandung?”

Akhirnya kuterima paketnya, kububuhkan tanda tanganku diatas kertas penerimaaan barang.

Ternyata tetanggaku namanya Vivo Mwenyewe. Nama yang aneh, semoga tidak dengan orangnya. Akan kuantar paket ini esok pagi. Barangkali sang empunya paket sedang menikmati akhir pekan.

“gw mandi dulu ah. Lengket badan seharian di kereta.”

Kuhempaskan kembali badanku ke tempat tidur, berniat untuk kembali memejamkan mata. Namun perut berkata lain. Tidur sesiangan dan melupakan makan ternyata direspon dengan cepat oleh perutku segera setelah aku terbangun. Aku tidur-tiduran sambil menunggu adikku selesai mandi.

“Kak, baju siapa nih di kamar mandi? Ada temen cowok lo yang nginep disini tadi malem?” Tanya adikku sambil berjalan keluar dari kamar mandi. Ditangannya terbentang sehelai kaus berwarna coklat. Dari ukuran dan bentuknya jelas itu kepunyaan seorang laki-laki.

Shoot! Aku tidak bisa menjawab. Apa yang aku lakukan tadi malam?atau tadi pagi? Sama siapa aku pulang tadi? Shit! aku tidak ingat apa apa. Aku juga baru sadar baju yang kukenakan sekarang tidak sama dengan baju tadi malam ketika pesta ulang tahun kantorku berlangsung. Aku juga tidak ingat siapa yang mengganti. Aku? Atau..?

Masih dalam kebingungan telepon genggamku kembali berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

“ malem sayang? Udah sepenuhnya sadar atau masih hangover? Ga pake macem-macem kan tadi malem? Telvon aku kalau kamu baca sms ini ya?”
Sender: sipacar

Dan seketika aku ingat rencana pertunangan kami bulan depan.

Langit Segarra Jingga

#1701-2

*Zap*

Suara tangisan itu tiba-tiba menggelegar diantero kamar ini. Tandanya bayi itu sudah bangun dari tidurnya (atau pingsan).

“Ah, hanya tangisan,” kataku dalam hati.

Itu belum seberapa dibanding dia menghilang dari ruang dan waktu ini, lanjutku. Langsung saja kuletakan bayi itu dalam baby package, alat yang dapat menyediakan semua keperluan bayi dalam satu tempat. Bentuknya seperti tempat tidur bayi biasa dengan jeruji kayu. Semua keperluan bayi ada didalamnya mulai dari mainan yang melayang diatas kotak kayu tersebut yang akan berputar bila bayi menangis, ada botol susu yang dapat membuat susu sendiri dan memberikannya tepat di mulut bayi, ada alat yang dapat menggantikan diapers bila bayi mengompol. Hebatnya, alat itu bekerja tanpa diperintah alias otomatis! Ajaib.

Tenang sudah dia dikotak autis itu. Akupun merebahkan badan di kasur air zam-zamku. Sambil menatap langit-langit kamar yang ku kelir warna hitam dan memberi efek sesak ruangan ini, aku berpikir. Berpikir seperti apa zaman ini. Aku tidak pernah mengertinya.

“Vivo!” Kataku bertujuan mengagetkan diriku agar tidak berpikir.

Awalnya memang agak aneh menyebut nama sendiri untuk orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, toh nama bayi itu memang Vivo, Vivo Mwenyewe. Entah siapa yang memberi nama itu. Aku menyebutnya takdir.

***

Treeeett!

Suara bel pintu kamar menyergap pikiranku yang entah sedang kemana. Kakiku melangkah ke belakang daun pintu sambil berpikir apakah pintu itu termasuk pohon. Kututup sebelah mataku dengan tujuan mengintip siapa orang diluar sana. Oh, sungguh sia-sia aku ini. Ternyata kamarku berpintu kaca. Di luar, di balik pintu itu, terpampang sesosok anak berumur belasan tahun yang sedang ternganga melihatku. Rasanya anak ini familiar bagiku, “apakah anak kamar tetangga sebelahku?” Pikirku dalam hati dengan hati-hati bermaksud tidak berpikir yang aneh-aneh. Terbukti pikiranku memang aneh, kamar sebelahku belum dihuni siapapun. “Siapa yang melahirkan anak ini kalau begitu?” Pikirku makin ngelantur.

Kubuka pintu itu—akhirnya. Anak itu masuk sambil memasang muka yang sama. Dia mulai menggerakkan bibirnya yang tebal, “Vivo?” Ucapnya ragu.

“Iya?” Jawabku.

“Sungguh?” Giliran si anak.

“Maksudnya?” Kataku sambil mulai curiga kalau-kalau anak ini hanya diajarkan kalimat tanya sejak kecil.

“Vivo Mwenyewe?” tanyanya lagi.

“Kenapa?” tanyaku balik sambil menuju laci dapur mencari piring cantik untuk hadiah bila anak itu bertanya lagi.

“Syukurlah,” kata anak itu sambil meregangkan otot-otot bahunya yang sejak tadi tampak tegang.

Anak yang aneh. Aku kembali mendekati anak itu sambil membawa piring cantik tanpa berniat untuk dijadikan hadiah, rasanya justru ingin kupecahkan piring itu dikepalanya. Namun hal tersebut urung aku lakukan saat kusadari piring itu adalah pemberian seseorang. Hasil pemberian John Banting, tokoh iklan deterjen pakaian idolaku.

“Kamu siapa?” Tanyaku.

“Aku? Hmmm..Dubel?” Jawabnya seakan ragu dengan namanya sendiri.

“Ohhh….” Ucapku bersemangat.

“Aku Duputi! Kamu pasti merasa lelah, pusing, dan agak mual. Kemari, kemari, duduk dulu sebentar,” lanjutku sambil menggiringnya ke Gawang, nama kasur air zam-zamku.

Kubuatkan dia segelas sari jeruk. Asli, bukan yang sachet, seperti kesukaannya. Anak itu masih terlihat tegang—seperti baru melihat hantu di gang sempit—walaupun ia sudah berusaha tenang. Kuberikan ia gelas berisi sari jeruk yang kubuat sendiri, bukan dengan tangan buatanku.

“Maaf tidak ada meja untuk meletakan gelas di sini,” kataku meminta permakluman.

“Aku tahu,” balasnya. Rasanya ingin kuberikan sebuah telepon selular untuk anak ini. Biar bisa SMS-an saja denganku daripada berbicara pendek-pendek begini.

Anak itu langsung menenggak habis minuman yang kuberikan, minus gelasnya. Kelakuannya mirip orang Afrika yang kekurangan air. Puas menenggak minum, anak itu terlihat lebih tenang. Aku pun memulai pembicaraan selanjutnya, “Mau melihat Vivo?”

“Maksudmu Sa?” Tanyanya mengklarifikasi.

“Oh iya Sa! lihat sana, dia sedang tidur disana,” kataku sambil menunjuk ke arah baby package.

Anak itu langsung loncat berdiri dan segera menuju Vivo kecil berada. Kalau saja dia loncat sepanjang jalan aku pasti tahu ayahnya, sayangnya hal itu tidak dia lakukan. Dia terlihat senang bermain dengan Vivo kecil. Entah apa yang dimainkan. Satu dua jam berlalu dan akupun senang melihat mereka bercengkrama padahal Vivo kecil tak akan mengerti apa yang dikatakan Dubel, begitupun sebaliknya.

***

Aku membuka mataku, namun tidak ada yang dapat kulihat. Semuanya gelap. Aku mulai panik dan mulai membuang pandanganku kesamping. Ternyata aku tertidur terlentang menghadap langit-langit kamarku yang berwarna hitam. Segera kualihkan seluruh berat tubuhku ke pantat, duduk. Kulihat dengan mata bantalku Dubel dan Vivo kecil masih bersama disana. Dubel memalingkan wajahnya kearahku, menyambut kesadaranku. Wajahnya bingung.

Dubel mendekatiku, denotatif. Wajahnya tetap bingung, bahkan semakin bingung. Aku sedikit mundur supaya dia sedikit tidak bingung. Percuma rupanya.

“Bagaimana aku pulang?” Tanyanya tetap dengan kalimat pendek.

“Seperti biasanya,” jawabku santai.

“Ini pertama kalinya!” Nada bicaranya menaik.

Kugaruk sedikit kepalaku walau tidak gatal. Aku tidak berpikir, aku hanya mengingat. Melihatku diam saja nampaknya membuat Dubel naik pitam.

“Bagaimana ini? Aku harus sekolah besok!” Ia terlihat panik. Sedangkan aku, aku hanya tetap diam dan malah sempat berpikir untuk membeli piagam nanti karena Dubel telah memecahkan rekor kalimat terpanjang hari ini, enam kata.

“Tutup matamu…lalu pikirkan,” ucapku memberi saran.

Ia mencoba menutup matanya kencang-kencang hingga seluruh mukanya berkerut. Mukanya mulai memerah. Entah mengapa ia nampaknya juga menahan napasnya, kuanggap itu improvisasi.

“Tidak bisa!” ia merasa dibohongi.

“Jangan tegang,” jelasku.

“Ini tidak akan berhasil,” sanggahnya sambil tetap mencoba saranku.

*Zap*

Ia berhasil.

***

Tak terasa hari sudah mulai gelap. Aku menuju balkon dan membuka pintu balkon lebar-lebar. Kuintip ke arah dasar apartemen, titik-titik cahaya bertebaran di bawah sana. Cahaya lampu seantero kota terlihat dari sini. Berlebihan memang, karena dari balkon hanya dapat melihat pemandangan ke arah utara. Senang, tiba-tiba aku merasa senang bisa mengintip ke bawah sana. Seperti merasa lega dari kesesakan yang biasa kujumpai. Merasa dunia sangat luas sekaligus kecil. Luas karena masih bisa melihat langit dari balkon ini. Kecil karena masih banyak cahaya di bawah sana, di bawah kakiku.

Treeett!

Bel kamar berbunyi. Aku pikir itu pasti Dubel yang hendak marah-marah karena saranku yang tidak berhasil padanya. Aku segera menutup pintu balkon lalu menuju Gawang tanpa ada niat secuil pun membuka pintu. Anak itu membosankan.

Treeettt! Treeett!!! Treeetttt!!!

Bel itu berbunyi semakin sering. Niatku tetap teguh untuk tidak membiarkannya masuk. Kututup mataku, merilekskan badan walau sempat terpikir mungkin saja orang diluar sana bukan Dubel.

*Zap*


Vivo Mwenyewe