#1701-3
#1701-2
*Zap*
Suara tangisan itu tiba-tiba menggelegar diantero kamar ini. Tandanya bayi itu sudah bangun dari tidurnya (atau pingsan).
“Ah, hanya tangisan,” kataku dalam hati.
Itu belum seberapa dibanding dia menghilang dari ruang dan waktu ini, lanjutku. Langsung saja kuletakan bayi itu dalam baby package, alat yang dapat menyediakan semua keperluan bayi dalam satu tempat. Bentuknya seperti tempat tidur bayi biasa dengan jeruji kayu. Semua keperluan bayi ada didalamnya mulai dari mainan yang melayang diatas kotak kayu tersebut yang akan berputar bila bayi menangis, ada botol susu yang dapat membuat susu sendiri dan memberikannya tepat di mulut bayi, ada alat yang dapat menggantikan diapers bila bayi mengompol. Hebatnya, alat itu bekerja tanpa diperintah alias otomatis! Ajaib.
Tenang sudah dia dikotak autis itu. Akupun merebahkan badan di kasur air zam-zamku. Sambil menatap langit-langit kamar yang ku kelir warna hitam dan memberi efek sesak ruangan ini, aku berpikir. Berpikir seperti apa zaman ini. Aku tidak pernah mengertinya.
“Vivo!” Kataku bertujuan mengagetkan diriku agar tidak berpikir.
Awalnya memang agak aneh menyebut nama sendiri untuk orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, toh nama bayi itu memang Vivo, Vivo Mwenyewe. Entah siapa yang memberi nama itu. Aku menyebutnya takdir.
***
Treeeett!
Suara bel pintu kamar menyergap pikiranku yang entah sedang kemana. Kakiku melangkah ke belakang daun pintu sambil berpikir apakah pintu itu termasuk pohon. Kututup sebelah mataku dengan tujuan mengintip siapa orang diluar sana. Oh, sungguh sia-sia aku ini. Ternyata kamarku berpintu kaca. Di luar, di balik pintu itu, terpampang sesosok anak berumur belasan tahun yang sedang ternganga melihatku. Rasanya anak ini familiar bagiku, “apakah anak kamar tetangga sebelahku?” Pikirku dalam hati dengan hati-hati bermaksud tidak berpikir yang aneh-aneh. Terbukti pikiranku memang aneh, kamar sebelahku belum dihuni siapapun. “Siapa yang melahirkan anak ini kalau begitu?” Pikirku makin ngelantur.
Kubuka pintu itu—akhirnya. Anak itu masuk sambil memasang muka yang sama. Dia mulai menggerakkan bibirnya yang tebal, “Vivo?” Ucapnya ragu.
“Iya?” Jawabku.
“Sungguh?” Giliran si anak.
“Maksudnya?” Kataku sambil mulai curiga kalau-kalau anak ini hanya diajarkan kalimat tanya sejak kecil.
“Vivo Mwenyewe?” tanyanya lagi.
“Kenapa?” tanyaku balik sambil menuju laci dapur mencari piring cantik untuk hadiah bila anak itu bertanya lagi.
“Syukurlah,” kata anak itu sambil meregangkan otot-otot bahunya yang sejak tadi tampak tegang.
Anak yang aneh. Aku kembali mendekati anak itu sambil membawa piring cantik tanpa berniat untuk dijadikan hadiah, rasanya justru ingin kupecahkan piring itu dikepalanya. Namun hal tersebut urung aku lakukan saat kusadari piring itu adalah pemberian seseorang. Hasil pemberian John Banting, tokoh iklan deterjen pakaian idolaku.
“Kamu siapa?” Tanyaku.
“Aku? Hmmm..Dubel?” Jawabnya seakan ragu dengan namanya sendiri.
“Ohhh….” Ucapku bersemangat.
“Aku Duputi! Kamu pasti merasa lelah, pusing, dan agak mual. Kemari, kemari, duduk dulu sebentar,” lanjutku sambil menggiringnya ke Gawang, nama kasur air zam-zamku.
Kubuatkan dia segelas sari jeruk. Asli, bukan yang sachet, seperti kesukaannya. Anak itu masih terlihat tegang—seperti baru melihat hantu di gang sempit—walaupun ia sudah berusaha tenang. Kuberikan ia gelas berisi sari jeruk yang kubuat sendiri, bukan dengan tangan buatanku.
“Maaf tidak ada meja untuk meletakan gelas di sini,” kataku meminta permakluman.
“Aku tahu,” balasnya. Rasanya ingin kuberikan sebuah telepon selular untuk anak ini. Biar bisa SMS-an saja denganku daripada berbicara pendek-pendek begini.
Anak itu langsung menenggak habis minuman yang kuberikan, minus gelasnya. Kelakuannya mirip orang Afrika yang kekurangan air. Puas menenggak minum, anak itu terlihat lebih tenang. Aku pun memulai pembicaraan selanjutnya, “Mau melihat Vivo?”
“Maksudmu Sa?” Tanyanya mengklarifikasi.
“Oh iya Sa! lihat sana, dia sedang tidur disana,” kataku sambil menunjuk ke arah baby package.
Anak itu langsung loncat berdiri dan segera menuju Vivo kecil berada. Kalau saja dia loncat sepanjang jalan aku pasti tahu ayahnya, sayangnya hal itu tidak dia lakukan. Dia terlihat senang bermain dengan Vivo kecil. Entah apa yang dimainkan. Satu dua jam berlalu dan akupun senang melihat mereka bercengkrama padahal Vivo kecil tak akan mengerti apa yang dikatakan Dubel, begitupun sebaliknya.
***
Aku membuka mataku, namun tidak ada yang dapat kulihat. Semuanya gelap. Aku mulai panik dan mulai membuang pandanganku kesamping. Ternyata aku tertidur terlentang menghadap langit-langit kamarku yang berwarna hitam. Segera kualihkan seluruh berat tubuhku ke pantat, duduk. Kulihat dengan mata bantalku Dubel dan Vivo kecil masih bersama disana. Dubel memalingkan wajahnya kearahku, menyambut kesadaranku. Wajahnya bingung.
Dubel mendekatiku, denotatif. Wajahnya tetap bingung, bahkan semakin bingung. Aku sedikit mundur supaya dia sedikit tidak bingung. Percuma rupanya.
“Bagaimana aku pulang?” Tanyanya tetap dengan kalimat pendek.
“Seperti biasanya,” jawabku santai.
“Ini pertama kalinya!” Nada bicaranya menaik.
Kugaruk sedikit kepalaku walau tidak gatal. Aku tidak berpikir, aku hanya mengingat. Melihatku diam saja nampaknya membuat Dubel naik pitam.
“Bagaimana ini? Aku harus sekolah besok!” Ia terlihat panik. Sedangkan aku, aku hanya tetap diam dan malah sempat berpikir untuk membeli piagam nanti karena Dubel telah memecahkan rekor kalimat terpanjang hari ini, enam kata.
“Tutup matamu…lalu pikirkan,” ucapku memberi saran.
Ia mencoba menutup matanya kencang-kencang hingga seluruh mukanya berkerut. Mukanya mulai memerah. Entah mengapa ia nampaknya juga menahan napasnya, kuanggap itu improvisasi.
“Tidak bisa!” ia merasa dibohongi.
“Jangan tegang,” jelasku.
“Ini tidak akan berhasil,” sanggahnya sambil tetap mencoba saranku.
*Zap*
Ia berhasil.
***
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Aku menuju balkon dan membuka pintu balkon lebar-lebar. Kuintip ke arah dasar apartemen, titik-titik cahaya bertebaran di bawah sana. Cahaya lampu seantero kota terlihat dari sini. Berlebihan memang, karena dari balkon hanya dapat melihat pemandangan ke arah utara. Senang, tiba-tiba aku merasa senang bisa mengintip ke bawah sana. Seperti merasa lega dari kesesakan yang biasa kujumpai. Merasa dunia sangat luas sekaligus kecil. Luas karena masih bisa melihat langit dari balkon ini. Kecil karena masih banyak cahaya di bawah sana, di bawah kakiku.
Treeett!
Bel kamar berbunyi. Aku pikir itu pasti Dubel yang hendak marah-marah karena saranku yang tidak berhasil padanya. Aku segera menutup pintu balkon lalu menuju Gawang tanpa ada niat secuil pun membuka pintu. Anak itu membosankan.
Treeettt! Treeett!!! Treeetttt!!!
Bel itu berbunyi semakin sering. Niatku tetap teguh untuk tidak membiarkannya masuk. Kututup mataku, merilekskan badan walau sempat terpikir mungkin saja orang diluar sana bukan Dubel.
*Zap*
Vivo Mwenyewe
#1701
Brukkkk...
Aku mendarat tepat diatas tumpukan sampah. Melarak-lirik dari tumpukan sampah yang kini menumpuk diluar tong. Dari kiri ke kanan; depan kebelakang; atas bawah; takut ada yang lihat. Kudirikan badanku sambil bergoyang dan mengepak-ngepakkan tangan ke sekujur badan dengan tujuan mengusir kotoran di sekujur tubuh.
"Bersih sudah," ucapku membohongi diri.
Aku lanjutkan dengan menyusuri sepanjang jalan kota ini, karena hanya itu yang bisa kulakukan sebagai laki-laki: menyusuri. Kalau menyusui biar wanita saja. Apa jadinya aku, lelaki tegap berwajah tampan dan maskulin ini bila menyusui? Cukup Arnold Schwarzenegger yang melakukannya. Ah sudahlah, lagi-lagi ini kebiasaan burukku: selalu suka berceloteh sendiri. Ramai tapi sendiri. Orang normal tak akan mengerti ini. Butuh penjelasan panjang untuk ini seperti menjelaskan jawaban quiz parampaa.
Sambil bergumam sepanjang jalan aku sempat berpikir, seharusnya aku lebih sering datang kesini sehingga aku dapat mencari di lebih banyak tempat. Tapi nyatanya lihat aku sekarang. Hanya sendiri.
"Takutnya ia belum bisa mengendalikannya," tiba-tiba terpikir hal itu olehku.
Ya, ia bisa dimana saja ditempat ini, sulit menemukannya! Itu roh pesimis dalam diriku yang berbicara.
Ah, tidak mungkin! Nenek tua nakal penjaga lobby bilang kalau aku menemukannya disini! Dikawasan kumuh kota ini. Kalau ini roh keras kepala yang berbicara. Entah kemana roh optimisku. Asal jangan keluar, karena tidak akan tahu kemana.
Tapi rasanya sungguh geregetan karena dia belum ada wujudnya juga. Memang kecil, takutnya dia mati sendirian di luar sana di musim yang mulai tidak jelas ini.
***
Aha! itu dia, itu dia...
Dia disana, tepat diatas gerobak tua yang ditinggalkan pemiliknya yang mungkin sudah kaya karena reality show Helmy Yahya. Dia tergolek lucu, matanya yang biru tengah terbelalak; kepalanya yang dikelilingi rambut coklat yang halus bergoyang-goyang seperti pajangan di dashboard mobil; hidungnya mancung; seperti ayahnya yang seorang Portugis. Kulitnya hitam legam nan seksi; bibirnya yang tebal berkomat-kamit sendiri seperti kebiasaanku. Mungkin besarnya jadi dukun, gumamku menyaingi gumamnya.
Dia bayi yang lucu. Seonggok orok keturunan Portugal dan Burundi. Cepat-cepat kubawa dia menyusuri kota dan tiba ditempat itu. Ya, tempat yang memang kusediakan untuknya, untukku. Perlahan aku menyusuri tangga darurat menuju kamar itu sambil menimang-nimang bayi kecil berumur sehari. Aku sengaja tidak menggunakan lift, takut bertemu banyak orang dan berpikir aku tidak perjaka lagi. Cih! Sepele..
Berat juga kaki ini melewati 850 anak tangga yang entah siapa ibu-bapaknya. Betis ini sudah tambun rasanya. Langsung saja kubelokkan badan kekanan dengan berat karena powersteering sudah habis 'power'nya untuk naik tangga tadi. Setelah belok kanan, mentok, dan belok kanan lagi. Kurogoh kantongku, dengan tangan buatanku yang kutempelkan di depan pintu karena tanganku sudah penuh untuk menggendong bayi ini. Kubuka pintu lagi-lagi dengan tangan buatanku yang entah bagaimana aku bisa membuat alat sehebat itu. Nanti sajalah dipikirkan, aku sudah lelah.
Di dalam kamar, aku gesekan sepatuku ke tembok dengan harapan velcro yang mengikat kakiku dan sepatu ini lepas dan kakiku telanjang. 2 menit berlalu dan sepatu itu tetap menempel dikaki. Merasa kesal untuk hal tidak penting, aku lempar saja bayi itu ke kasur yang berada agak menyerong dariku dengan teknik parabola yang melengkung. aku lepaskan sepatu secepatnya dan segera menangkap bayi yang kulempar itu.
Aku gagal. Gagal menangkapnya. Biarkan sajalah, toh dia sudah sampai di kasur airku yang kuisi dengan air zam-zam. Pasti dia sehat walafiat.
Benar saja, dia langsung tertidur (atau pingsan). Saatnya kini aku yang beristirahat, menata masa depan yang sudah kuketahui.
Anehnya hidup ini.
*Zap*
Vivo Mwenyewe