*Zap*
Brukkkk...
Aku mendarat tepat diatas tumpukan sampah. Melarak-lirik dari tumpukan sampah yang kini menumpuk diluar tong. Dari kiri ke kanan; depan kebelakang; atas bawah; takut ada yang lihat. Kudirikan badanku sambil bergoyang dan mengepak-ngepakkan tangan ke sekujur badan dengan tujuan mengusir kotoran di sekujur tubuh.
"Bersih sudah," ucapku membohongi diri.
Aku lanjutkan dengan menyusuri sepanjang jalan kota ini, karena hanya itu yang bisa kulakukan sebagai laki-laki: menyusuri. Kalau menyusui biar wanita saja. Apa jadinya aku, lelaki tegap berwajah tampan dan maskulin ini bila menyusui? Cukup Arnold Schwarzenegger yang melakukannya. Ah sudahlah, lagi-lagi ini kebiasaan burukku: selalu suka berceloteh sendiri. Ramai tapi sendiri. Orang normal tak akan mengerti ini. Butuh penjelasan panjang untuk ini seperti menjelaskan jawaban quiz parampaa.
Sambil bergumam sepanjang jalan aku sempat berpikir, seharusnya aku lebih sering datang kesini sehingga aku dapat mencari di lebih banyak tempat. Tapi nyatanya lihat aku sekarang. Hanya sendiri.
"Takutnya ia belum bisa mengendalikannya," tiba-tiba terpikir hal itu olehku.
Ya, ia bisa dimana saja ditempat ini, sulit menemukannya! Itu roh pesimis dalam diriku yang berbicara.
Ah, tidak mungkin! Nenek tua nakal penjaga lobby bilang kalau aku menemukannya disini! Dikawasan kumuh kota ini. Kalau ini roh keras kepala yang berbicara. Entah kemana roh optimisku. Asal jangan keluar, karena tidak akan tahu kemana.
Tapi rasanya sungguh geregetan karena dia belum ada wujudnya juga. Memang kecil, takutnya dia mati sendirian di luar sana di musim yang mulai tidak jelas ini.
***
Aha! itu dia, itu dia...
Dia disana, tepat diatas gerobak tua yang ditinggalkan pemiliknya yang mungkin sudah kaya karena reality show Helmy Yahya. Dia tergolek lucu, matanya yang biru tengah terbelalak; kepalanya yang dikelilingi rambut coklat yang halus bergoyang-goyang seperti pajangan di dashboard mobil; hidungnya mancung; seperti ayahnya yang seorang Portugis. Kulitnya hitam legam nan seksi; bibirnya yang tebal berkomat-kamit sendiri seperti kebiasaanku. Mungkin besarnya jadi dukun, gumamku menyaingi gumamnya.
Dia bayi yang lucu. Seonggok orok keturunan Portugal dan Burundi. Cepat-cepat kubawa dia menyusuri kota dan tiba ditempat itu. Ya, tempat yang memang kusediakan untuknya, untukku. Perlahan aku menyusuri tangga darurat menuju kamar itu sambil menimang-nimang bayi kecil berumur sehari. Aku sengaja tidak menggunakan lift, takut bertemu banyak orang dan berpikir aku tidak perjaka lagi. Cih! Sepele..
Berat juga kaki ini melewati 850 anak tangga yang entah siapa ibu-bapaknya. Betis ini sudah tambun rasanya. Langsung saja kubelokkan badan kekanan dengan berat karena powersteering sudah habis 'power'nya untuk naik tangga tadi. Setelah belok kanan, mentok, dan belok kanan lagi. Kurogoh kantongku, dengan tangan buatanku yang kutempelkan di depan pintu karena tanganku sudah penuh untuk menggendong bayi ini. Kubuka pintu lagi-lagi dengan tangan buatanku yang entah bagaimana aku bisa membuat alat sehebat itu. Nanti sajalah dipikirkan, aku sudah lelah.
Di dalam kamar, aku gesekan sepatuku ke tembok dengan harapan velcro yang mengikat kakiku dan sepatu ini lepas dan kakiku telanjang. 2 menit berlalu dan sepatu itu tetap menempel dikaki. Merasa kesal untuk hal tidak penting, aku lempar saja bayi itu ke kasur yang berada agak menyerong dariku dengan teknik parabola yang melengkung. aku lepaskan sepatu secepatnya dan segera menangkap bayi yang kulempar itu.
Aku gagal. Gagal menangkapnya. Biarkan sajalah, toh dia sudah sampai di kasur airku yang kuisi dengan air zam-zam. Pasti dia sehat walafiat.
Benar saja, dia langsung tertidur (atau pingsan). Saatnya kini aku yang beristirahat, menata masa depan yang sudah kuketahui.
Anehnya hidup ini.
*Zap*
Vivo Mwenyewe
No comments:
Post a Comment