#1702-1

Oke, aku tidak akan membuat ini menjadi sebuah deskripsi yang dramatis, dengan pilihan kata yang njelimet.

Dua minggu ini aku berpangku tangan setiap melihat dua brosur apartemen yang menjadi pilihan terakhir saya. Semoga pilihan yang satu ini baik.

Ha? Kenapa? Bagaimana dengan kamar lama saya? Ya, kamu tahulah. Hubungan kami memang sudah seharusnya berakhir sejak lama. Dia terlalu penuntut dan aku hanya merindukannya saat dia tidak ada. Jadi ya aku memilih untuk mengalah. Duit hasil patungan untuk membayar sewa apartemenku yang lama, aku relakan dan sebagai gantinya aku boleh membawa televisi 14 inci kami. Sampai sekarang suka bingung dengan pasangan-pasangan yang terburu sekali ingin hidup satu atap, dengan atau tanpa cincin di jari manis mereka.

Mungkin mereka belum sadar, betapa sulitnya berbagi comfort zone. Keegoisan itu adalah anugerah. Tanggung jawab itu kotoran kuda.

Maka berdirilah aku di depan koridor kamar. #1702. Tidak suka nomornya. Tapi tidak suka akan hal-hal mistis juga. Urutan angka-angka itu tidak terdengar enak saja. Entahlah. Kuncinya agak tersangkut bila aku buka dengan cara memutarnya langsung. Jadi sepertinya suatu hari aku akan berakhir mengetuk kamar depan atau sebelah, meminjam sesuatu untuk mendobrak masuk kedalam. Hanya jaga-jaga. Salah sendiri juga terlalu banyak menonton serial Friends, jadi bayangan hidup di Apartemen itu jadi selalu mengarah kearah joey dkk.

Kenyataannya? Apartemen itu hanya sebuah bukti, bahwa kita semua adalah insan-insan kesepian, yang tenggelam di dalam rutinitas. Apartemen itu sangkar. Sangkar dimana manusia tidak lagi butuh halaman belakang rumah mereka, tidak butuh teras untuk menerima tamu, tidak butuh selapang rumput untuk menyapa tanaman. Yang mereka butuh hanya wanita untuk one night stand, delivery service Chinese Food, dan berbotol-botol liquor untuk melarikan diri dari kesendirian mereka.

And here I am, melanggar janji di paragraph pertama untuk tidak njelimet. Susah sekali untuk tidak mengeluh, dengan situasi di sekitar kita. Entah aku yang kelewat normal apa dunia yang semakin gila.

And here I am, doing all the bullshit I said before. Entahlah. Di koridor lantai saya tinggal di apartemen terdahulu, di kiri kanan aku adalah mereka yang murung. Mereka yang terlalu lelah akan kenyataan bahwa mereka harus membeli susu untuk anaknya dengan gaji yang pas-pasan. Mereka yang terbangun di pagi hari dan tersadar bahwa mereka menikahi seekor monster yang kerjaannya meledak hanya karena problema yang sederhana.

Kalian juga pasti se-pesimis itu kan? Iya kan?
Nevermind.

Lantainya agak reyot ya? Itu bunyi “ngikngok” dari lantai apa dari pintu ya? Apa dari jendela? Aku lebih suka membereskan kamar pada saat pagi buta. sepertinya “selera tata letak” menjadi tinggi bila dilanda rasa kantuk. Dulu di pukul segini, biasanya kami sedang bertengkar. Entah apapun yang menjadi bahan pertengkaran. Dia sering membanting sesuatu. Dia mengancamku dengan semua ancaman terseram sedunia. Sekarang, aku duduk di sofa sendirian. Menikmati setiap detiknya untuk tidak terikat suatu apapun. Melarikan diri tidak pernah sepuas ini.

Akhirnya kembali menjadi manusia seutuhnya. Aku bisa melarikan diri di apartemen ini. Lantai reyot bukan masalah lagi ketika hidupku tidak lagi alot. Apa yang harus dibanggakan bila sudah membohongi diri sendiri? in the end of every race, realist comes first.

with everything that comes with curiosity,
Alexia Raisha Tumangga

No comments:

Post a Comment