Minggu pagi. Matahari cukup cerah untuk menemaniku berenang.ya, berenang aktivitas yang sudah lama aku tinggalkan. Seperti kebanyakan kaum urban yang merasa terlalu sibuk hingga mengabaikan kebutuhan si badan untuk mendapat cukup asupan olahraga. Padahal alasan utamanya hanya satu, malas.
Pyak..
Satu ayunan tangan terakhir, genap sudah setengah kilometer aku hilir mudik. Cukup untuk hari ini,mungkin minggu depan akan kutambah beberapa ratus meter lagi.
Sambil mengeringkan rambut yang masih basah setelah membersihkan diri, aku melangkah kembali kekamar. Tidak ada yang lebih ingin aku lakukan hari ini selain bersantai. Membaca novel cinta picisan ditemani segelas es teh manis rasa vanilla. Sepertinya akupun ingin memasak sendiri makan siangku hari ini.
Kuambil kunci yang tergantung pada sebuah rantai tua. Rantai ini aku dapatkan dari seorang kekasih dimasa lalu yang kini sudah ada dialam lain. Sengaja masih kusimpan sebagai penghormatan terakhirku padanya.
Akhirnya pintu coklat ini berderit terbuka. Pandanganku menjelajah keseantero kamar. Tempat tidurku tepat ditengah ruangan berukuran 10x13 meter ini. Diatasnya sengaja kupajang foto diriku berlatar matahari terbit. Ceritanya sih sebagai penanda setiap hari yang baru ketika pertama aku membuka mata dipagi hari. Alah, klise. Dua nakas berwarna coklat mengapit kasur yang seringnya acak-acakan itu.
Tepat diseberang tempat tidur aku letakkan lemari dengan televisi layar datar 32 inci diatasnya. Televisi yang jarang sekali menyala karena aku tidak suka menonton. Jadi untuk apa? yah paling sesekali aku nikmati film dari cakram dvd.
Hanya itu yang terlihat dari pandanganku sekarang,dapur dan meja makan kecil tersembunyi dibalik tembok. Aku hempaskan diri diatas kasurku yang masih tetap berantakan. Tapi tiba-tiba pandanganku terarah pada kotak bersampul kertas warna-warni. Paket untuk tetanggaku diujung,Vivo Mwenyewe. Sebaiknya aku berikan sekarang, sebelum aku lupa.
Ting tong,ting tong..
Sudah berkali-kali kubunyikan bel namun sang empunya kamar tetap tidak membuka pintu. Ah,kesal!tapi kalau kuletakkan saja paket ini diluar,aku takut ada orang iseng yang mengambilnya. Kalau sampai isinya ternyata sangat penting,bisa mati aku diamuk si nama aneh.
Krieeett..
Pintu yang terbuka malah dari kamar sebelah,kamar 1702. seraut wajah manis milik perempuan seumurku tampak menyembul dari balik pintu yang tidak terbuka penuh.
“kayanya dari kemaren emang ga ada orang deh. Cuma ada suara bayi nangis”
Perempuan ini berkata tanpa aku tanya. Mungkin dia terganggu dengan bunyi bel yang kutekan berulang kali.
“oh. Maaf ya kalo jadi keganggu gw bunyiin bel melulu.gw udah dititipin paket ini dari hari jumat,takutnya lupa kalo gw ga kasih sekarang. Eh,penghuni baru yah?kenalkan,gw jingga, Langit Segarra Jingga. Seneng juga akhirnya ketemu penghuni lain dilantai ini.”
“Alexia Raisha Tumangga. Panggil aja alex. Iya gw baru pindah kemarin. Salam kenal juga.”
Gadis ini menjawab dengan singkat,namun terkesan terburu-buru. Seperti ada pekerjaan mendesak yang mewajibkannya kembali kedalam kamarnya sesegera mungkin. Aneh,ini kan hari minggu,harusnya hari untuk bersantai. Aku tersenyum simpul tiba-tiba. Dasar Jingga tidak sadar diri, lalu apa yang terjadi denganmu yang jurnalis televise?pekerjaanmu juga tidak mengenal akhir minggu kan?
“yaudah,gw titip lo aja yah paketnya?kamar lo kan sebelahan,siapa tau kedengeran kalo yang punya kamar ini sedang ada dikamarnya.kamar gw kan diujung,1706.”
Perempuan itu menerima paket yang harusnya kuserahkan pada vivo. Kembali lagi paket tersebut berpindah tangan.
Aku kembali kekamarku. Berbaring ditempat tidur. Sepertinya aku kembali mengantuk, kuperbaiki posisiku diatas kasur, dan aku siap kembali bercumbu dengan alam bawah sadar. Selamat tidur (menjelang) siang.
Langit Segarra Jingga
Biiip
Pesan masuk ke telepon genggamku. Aku yang masih antara sadar dan tidak mau tidak mau membuka mata, dan membaca pesan yang masuk tadi.
“Gw udah dibawah. Buruan jemput”
Aaah, dasar adik manja. Bukannya langsung naik saja ke lantai 17, malah minta jemput di lobby. Dia pasti tidak tahu tadi malam saya mabuk berat. Kantor tempatku bekerja ulang tahun yang keenam. Semua prajurit dari Jakarta tumplek di salah satu tempat hiburan malam di tengah kota Bandung. Kami berpesta hingga pagi, dan aku baru bisa tertidur pukul 10 pagi. Senang rasanya kembali berkumpul bersama mereka.
Kulirik jam yang berdiri diatas nakas. Pukul 17.00. Akhirnya aku paksa bangun. Haruskah sikat gigi dan cuci muka? Buat apa? Kuputuskan hanya menutupi piyamaku dengan long coat dan langsung turun ke lobby apartemen seguni. Awas kalau adikku datang tanpa buah tangan, akan kusuruh tidur dikamar mandi. Hehe.
“Lama deeeeeeeeh!” omelan si adik langsung menyapa begitu aku keluar lift. Malas ku jawab, hanya ku toyor jidatnya yang lebar sambil menggiringnya menuju lift. Aku masih terlalu mengantuk,dan kepalaku seperti diganduli beban seberat 10 kilogram. Sepertinya hangover.
Ting,
Lift berhenti sejenak dilantai 15. seorang gadis berperawakan kecil keluar dengan tergesa-gesa sambil berusaha mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Mungkin mencari kunci kamar. Lift menutup dan melanjutkan perjalanan.
“lantai ini ga enak banget auranya. Yang ninggalin juga gede banget. Item.” Adikku tiba tiba nyerocos tanpa ditanya.
Aku maklum, adikku memang dianugerahi kemampuan melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Tapi biasanya dia tidak akan bercerita tentang apa yang dia lihat kalau penampakan tersebut tidak terlalu menakutkan.
Akhirnya sampai di lantai 17. dari depan lift dapat kulihat seorang kurir berdiri didepan pintu kamarku. Dia terlihat bingung.
“Ada apa mas?” aku bertanya sambil memperhatikan kurir ini dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namanya Saipul, tertulis jelas di id card yang ia gantungkan di leher.
“Ini mbak ada paket untuk Vivo Mwenyewe. Alamatnya di Apartemen Seguni lantai 17,kamar 1701. tapi daritadi saya bunyikan bel kamarnya tidak ada jawaban. Boleh saya titip ke mbak aja? Saya masih harus mengantar 3 paket lagi ke arah timur kota bandung?”
Akhirnya kuterima paketnya, kububuhkan tanda tanganku diatas kertas penerimaaan barang.
Ternyata tetanggaku namanya Vivo Mwenyewe. Nama yang aneh, semoga tidak dengan orangnya. Akan kuantar paket ini esok pagi. Barangkali sang empunya paket sedang menikmati akhir pekan.
“gw mandi dulu ah. Lengket badan seharian di kereta.”
Kuhempaskan kembali badanku ke tempat tidur, berniat untuk kembali memejamkan mata. Namun perut berkata lain. Tidur sesiangan dan melupakan makan ternyata direspon dengan cepat oleh perutku segera setelah aku terbangun. Aku tidur-tiduran sambil menunggu adikku selesai mandi.
“Kak, baju siapa nih di kamar mandi? Ada temen cowok lo yang nginep disini tadi malem?” Tanya adikku sambil berjalan keluar dari kamar mandi. Ditangannya terbentang sehelai kaus berwarna coklat. Dari ukuran dan bentuknya jelas itu kepunyaan seorang laki-laki.
Shoot! Aku tidak bisa menjawab. Apa yang aku lakukan tadi malam?atau tadi pagi? Sama siapa aku pulang tadi? Shit! aku tidak ingat apa apa. Aku juga baru sadar baju yang kukenakan sekarang tidak sama dengan baju tadi malam ketika pesta ulang tahun kantorku berlangsung. Aku juga tidak ingat siapa yang mengganti. Aku? Atau..?
Masih dalam kebingungan telepon genggamku kembali berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
“ malem sayang? Udah sepenuhnya sadar atau masih hangover? Ga pake macem-macem kan tadi malem? Telvon aku kalau kamu baca sms ini ya?”
Sender: sipacar
Dan seketika aku ingat rencana pertunangan kami bulan depan.
Langit Segarra Jingga
Langit mendung.Aku bisa tahu dari tidak adanya bintang dilangit. Kata ayahku, kalau langit malam tak berbintang tandanya mendung.
Uuhh aku tak suka. Apalagi aku belum tiba di apartemenku,dan hari ini aku mengenakan sepatu dengan hak setinggi 5 cm. Repot kalau harus berlarian dari tempat angkot berhenti hingga pintu lobi.
Ya,walaupun manusia urban masa kini mengganggap adalah hal yang aneh jika kamu tinggal di apartemen namun tidak menggunakan mobil pribadi, aku tidak peduli. Aku merasa naik angkutan umum lebih praktis ketimbang harus mengendarai mobil pergi dan pulang kantor. Toh pekerjaanku sebagai seorang reporter televisi lokal Bandung, mengharuskan semua aktifitas luar kantorku dijalankan dengan menggunakan mobil operasional. Jadi, buat apa bawa mobil pribadi?
Akhirnya apartemenku sudah terlihat dari jendela angkot hijau ini. Apartemen Seguni,baru satu bulan aku tinggal disitu. Awalnya aku berkantor di ibukota,namun karena kantorku membuka cabang di kota kembang ini, aku diutus pindah untuk memegang sebuah program yang akan bercerita tentang kota bandung.
Bandung, aku pernah menghabiskan waktu 5 tahun untuk kuliah disini. Namun bandung kini dan dulu sangat jauh berbeda. Kini Bandung tidak berbeda dengan jakarta, penuh sesak dan kemacetan dimana-mana. Untung udaranya tetap tidak sepanas jakarta. Kalau iya, aku sama saja hanya memindahkan stress-pulang-kantor-di jakarta ke bandung.
Lobi apartemen cukup sepi ketika aku sampai didepan pintunya. Hanya satpam tua berkumis tebal yang tampak terkantuk-kantuk dimeja singgasananya,dan dua orang remaja tanggung di kursi tamu. Kedua remaja itu sempat melirikku dengan aneh,mungkin melihat aku yang turun dari angkutan umum. Aku tidak peduli. Langsung kutekan tombol naik di lift. Aku sudah lelah,rasanya ingin segera mandi air hangat lalu bercinta dengan kasur,bantal,guling,dan selimutku.
Agak lama aku menunggu lift. Ini biasanya berarti banyak yang naik dari lapangan parkir dilantai bawah. Yah,semoga saja lift tidak penuh.
ting.
Ini dia liftku datang. Perlahan pintu lift membuka, sesuai tebakanku lift agak penuh. Ada 3 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. 2 diantara mereka bergeser memberi tempat untukku ikut menumpang lift ini.
Dan pada saat 2 orang perempuan dihadapanku bergeser barulah aku lihat siluetnya. Tertunduk sibuk dengan telepon genggam. Tidak melihat siapa penumpang lift yang baru saja masuk.
Aku kadung terjebak dalam ruangan kecil ini. Seketika lift yang berpendingin udara ini terasa sangat panas,sesak. Aku yang bukanlah seorang kalustrophobic merasa sangat ketakutan. Bulu kudukku berdiri,dan keringat terasa mengucur dipunggung.
"shit,kenapa hari ini lift lama sekali jalannyaaaaa!" jeritku dalam hati. Aku ingin cepat sampai dilantai 17. aku tidak mau disini.
Lantai 15. Dua orang turun dilantai ini. Aduh,kapan giliran lantai 17.
Lift juga singgah di lantai 16. Seorang lelaki berpotongan seniman turun sambil bersiul. Ingin rasanya kutendang bibir monyongnya karena memperlambat gerak lift ke lantai 17.Ayo,satu lantai lagi.
Akhirnya tiba juga di lantai 17. Buru-buru aku keluar, berlari menuju kamar 1706. Tak lagi kutengok dimana dia turun. Dan kucatat dalam otakku kalau lain kali dia ada didalam lift,aku akan menggunakan tangga saja untuk sampai kekamar.
Cemen. Kenapa selalu jadi aku yang kalah? Sudahlah,aku cuma tidak mau banyak bertengkar lagi dengan diri sendiri.
Akhirnya pintuk kamar berhasil kubuka. Aku masuk dan membanting pintu dibelakangku. Aku terlalu lelah. Sejenak kusandarkan punggung ke pintu yang baru saja menutup,masih meninggalakan bunyi debam kerasnya di gendang telinga. Tas jinjing yang aku bawa kuletakkan saja disebelah kakiku. Aku butuh bernafas.
Aku pejamkan mata sambil masih bersandar di pintu. Kuangkat tangan menuju muka, berniat menggaruk pipi kanan yang tiba-tiba gatal. Tak dinyana yang kurasakan malah setetes air. Kucoba kecap air yang kini tertinggal diujung jari. asin.
Setetes lama-lama berubah menjadi aliran sungai di pipi. Hilang sudah keinginan untuk bercinta dengan kasur.
Langit Segarra Jingga