#1701-3

*Zap*

Mataku terbelalak kaget. Kamarku terasa ramai. Banyak suara disana-sini. Kukumpulkan tenaga untuk mendirikan setengah badanku dari kepala hingga ke pinggang. Ku terduduk sekarang.

*ceprooott!!!*
Tiba-tiba ada yang mencium dan membuatku pipi kananku merah. Seperti kisah romantis memang. Namun tak ada rasa senang ku sama sekali disana. karena itu bola golf yang baru saja menempel di pipi yang membuat pipiku merah. dan kemungkinan ungu di esok hari.

Itu kelakuan Dupul, mahasiswa berpenampilan hip-hop, yang sedang bermain mini golf di kamarku. Belum sempat meluapkan emosi padanya, perhatianku teralih kepada seisi kamar yang kini terisi banyak orang. Ada Dupupan yang sedang berdiri di balkon, Dupul yang sedang mencari bola golfnya yang entah dimana sekarang, Tipudu sang lelaki dewasa yang necis dengan jasnya duduk di kursi ujung ruangan, dan dua orang anak kecil (yang seharusnya remaja), Tibel dan Libel yang sedang berlari-lari saling berebut kartu Dragon Ball tahun 90'an. Oke, aku akui dengan orang sebanyak ini di kamarku, wajar saja bila aku terbangun.

Tibel masih saja mengejar Libel untuk mendapatkan kartu Dragon Ball hologram. Padahal mereka memiliki kartu itu masing-masing pada zamannya. Maklum, Tibel masih kurang memahami konsep waktu. Tibel terus mengejar Libel yang sudah terpojok di ujung balkon. Saking semangatnya, ia tanpa sadar menyenggol dan menjatuhkan sebuah kotak bersampul kertas warna-warni yang berada diatas meja. Waktu seakan terhenti. Hanya mata kami yang bergerak memfokuskan objek ke arah kotak tersebut. Kotak itu sebenarnya biasa saja, bahkan sudah berdebu.

***

Kami duduk berlutut mengelilingi Gawang, si kasur air zam-zam. Kotak itu kini berada tepat di tengah kasur. Jujur, kami penasaran dengan isi kotak itu. Namun begitu, toh sudah 23 tahun kotak itu tetap tidak kami buka. Entah apa alasannya.

"Kini saatnya," kata Dupul sok dewasa.

Tibel dan Libel mengangguk semangat. Sedangkan aku, Dupupan, dan Tipudu menggeleng. Bukan karena tidak setuju, melainkan menahan kesal mendengar kelakuan Dupul yang berlagak dewasa. Akhirnya Dupupan memberanikan diri mendekati dan mulai membuka kotak tersebut. Pertama ia menyobek sampul kertas dan menemukan sebuah dus berwarna dasar putih dan gambar kotak ditengahnya serta kotak-kotak kecil didalamnya. Dupupan penasaran, ia membuka kotak tersebut dan mendapati benda kotak setebal sekitar satu sentimeter. kami semua bingung benda apa itu.

"Itu iphone!!" Kata Tibel.

Kami semua mencari dimana letak mata telepon di kotak itu. Hanya ada layar sepertinya.

"Itu telepon selular zaman dulu!" Tibel menegaskan.

Kami semakin tidak berminat menyimak kalimat selanjutnya. Semua membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing. Hanya Tibel disana yang tampak terus memperhatikan benda tersebut.

"Ada suratnya juga!" Itu suara Tibel berusaha menarik kembali perhatian kami ke kotak telekomunikasi berukuran zaman belanja di Zimbabwe masih bawa koper.

"Dari John Banting!!" Lanjutnya melirik ke arah kami.

Aku sudah tahu memang Tibel paling jago menarik perhatian kami. Buktinya ia tahu betul apa yang kami sukai. Kami sangat mengidolakan sosok John Banting. Bahkan sampai mengoleksi piring hadiah sabun cuci dimana John Banting menjadi maskotnya.

"Apa isi suratnya?" Ucap kami serempak sambil menuju surat yang kini dipegang Tibel.


Kejutan Rinsooooooooo!!!!
Selamat kepada you guys karena beruntung mendapatkan sebuah hadiah handphone cantik terbaru. Terima kasih atas kesetiaan you guys menggunakan RINSO sebagai sabun cuci pakaian you guys.

NB: Hadiah termasuk nomor handphone pribadi saya yang sudah tersimpan di dalam handphone

Wasalam,

John Banting


Kami terkejut tiada tara membaca surat tersebut. Ruangan rasanya dipenuhi bunga aroma Rinso seketika. Saya langsung menghubungi nomor John Banting tanpa pikir panjang. Yang lain menunggu harap2 cemas. Rangkaian hologram muncul di hadapan kami membentuk sesosok nenek yang sedang duduk di kursi roda. Kami kaget. Seharusnya sosok John Banting yang muncul. Lalu kenapa nenek tua ini?? Kami hanya terdiam. Hingga sosok hologram itu berbicara.

"Kalian siapa? Mencari siapa?" Tanya nenek tersebut dengan suara serak.

"Mana John Banting??!!" Ujar Tibel agak keras.

"Kalian mencari John Banting?" tanya nenek itu kurang yakin.

"Iya nek, Kami baru membaca surat darinya setelah 23 tahun. Kalau boleh tau, dimana ia sekarang?" Tanyaku sopan.

Nenek itu mengeluarkan air mata dengan spontan. Tak terlihat sama sekali rekayasa kalaupun itu ternyata tipuan.

"John Banting sudah meninggal lama sekali," ucap nenek tersebut semakin terisak-isak sambil akhirnya mematikan sambungan komunikasi. Sebentuk hologram pun menghilang.

Kami hanya terdiam, kecuali Tipudu, Pria dewasa kelahiran 2010, yang selalu ingin bertemu sosok idolanya. Kini harapannya sirnah sudah. Masa depan tak selalu indah

Vivo Mwenyewe

#1706-3

Minggu pagi. Matahari cukup cerah untuk menemaniku berenang.ya, berenang aktivitas yang sudah lama aku tinggalkan. Seperti kebanyakan kaum urban yang merasa terlalu sibuk hingga mengabaikan kebutuhan si badan untuk mendapat cukup asupan olahraga. Padahal alasan utamanya hanya satu, malas.

Pyak..
Satu ayunan tangan terakhir, genap sudah setengah kilometer aku hilir mudik. Cukup untuk hari ini,mungkin minggu depan akan kutambah beberapa ratus meter lagi.

Sambil mengeringkan rambut yang masih basah setelah membersihkan diri, aku melangkah kembali kekamar. Tidak ada yang lebih ingin aku lakukan hari ini selain bersantai. Membaca novel cinta picisan ditemani segelas es teh manis rasa vanilla. Sepertinya akupun ingin memasak sendiri makan siangku hari ini.

Kuambil kunci yang tergantung pada sebuah rantai tua. Rantai ini aku dapatkan dari seorang kekasih dimasa lalu yang kini sudah ada dialam lain. Sengaja masih kusimpan sebagai penghormatan terakhirku padanya.

Akhirnya pintu coklat ini berderit terbuka. Pandanganku menjelajah keseantero kamar. Tempat tidurku tepat ditengah ruangan berukuran 10x13 meter ini. Diatasnya sengaja kupajang foto diriku berlatar matahari terbit. Ceritanya sih sebagai penanda setiap hari yang baru ketika pertama aku membuka mata dipagi hari. Alah, klise. Dua nakas berwarna coklat mengapit kasur yang seringnya acak-acakan itu.

Tepat diseberang tempat tidur aku letakkan lemari dengan televisi layar datar 32 inci diatasnya. Televisi yang jarang sekali menyala karena aku tidak suka menonton. Jadi untuk apa? yah paling sesekali aku nikmati film dari cakram dvd.

Hanya itu yang terlihat dari pandanganku sekarang,dapur dan meja makan kecil tersembunyi dibalik tembok. Aku hempaskan diri diatas kasurku yang masih tetap berantakan. Tapi tiba-tiba pandanganku terarah pada kotak bersampul kertas warna-warni. Paket untuk tetanggaku diujung,Vivo Mwenyewe. Sebaiknya aku berikan sekarang, sebelum aku lupa.

Ting tong,ting tong..
Sudah berkali-kali kubunyikan bel namun sang empunya kamar tetap tidak membuka pintu. Ah,kesal!tapi kalau kuletakkan saja paket ini diluar,aku takut ada orang iseng yang mengambilnya. Kalau sampai isinya ternyata sangat penting,bisa mati aku diamuk si nama aneh.

Krieeett..
Pintu yang terbuka malah dari kamar sebelah,kamar 1702. seraut wajah manis milik perempuan seumurku tampak menyembul dari balik pintu yang tidak terbuka penuh.

“kayanya dari kemaren emang ga ada orang deh. Cuma ada suara bayi nangis”
Perempuan ini berkata tanpa aku tanya. Mungkin dia terganggu dengan bunyi bel yang kutekan berulang kali.

“oh. Maaf ya kalo jadi keganggu gw bunyiin bel melulu.gw udah dititipin paket ini dari hari jumat,takutnya lupa kalo gw ga kasih sekarang. Eh,penghuni baru yah?kenalkan,gw jingga, Langit Segarra Jingga. Seneng juga akhirnya ketemu penghuni lain dilantai ini.”

“Alexia Raisha Tumangga. Panggil aja alex. Iya gw baru pindah kemarin. Salam kenal juga.”

Gadis ini menjawab dengan singkat,namun terkesan terburu-buru. Seperti ada pekerjaan mendesak yang mewajibkannya kembali kedalam kamarnya sesegera mungkin. Aneh,ini kan hari minggu,harusnya hari untuk bersantai. Aku tersenyum simpul tiba-tiba. Dasar Jingga tidak sadar diri, lalu apa yang terjadi denganmu yang jurnalis televise?pekerjaanmu juga tidak mengenal akhir minggu kan?

“yaudah,gw titip lo aja yah paketnya?kamar lo kan sebelahan,siapa tau kedengeran kalo yang punya kamar ini sedang ada dikamarnya.kamar gw kan diujung,1706.”

Perempuan itu menerima paket yang harusnya kuserahkan pada vivo. Kembali lagi paket tersebut berpindah tangan.

Aku kembali kekamarku. Berbaring ditempat tidur. Sepertinya aku kembali mengantuk, kuperbaiki posisiku diatas kasur, dan aku siap kembali bercumbu dengan alam bawah sadar. Selamat tidur (menjelang) siang.

Langit Segarra Jingga

#1702-2

Itu bunyi apaan sih? Suara anak kecil dari kamar sebelah. Mengganggu sekali. Aku ingin menyelesaikan lintingan terakhir, untuk stok seminggu ke depan.

Oh, have I told you that I hate kids?

Ini bukan tentang menghindari komitmen atau apapun yang berhubungan dengan itu. hanya saja anak kecil itu adalah monster paling berbahaya yang pernah ada di muka bumi. Ironisnya, se brengsek brengseknya mereka menghancurkan mood kita, semua orang tetap akan berkata, “ayolah, dia hanya anak kecil..” dan kita hanya bisa menyilangkan tangan dan memakan kekesalan untuk diri sendiri.

Di malam Natal 2007, aku menghardik keponakanku yang rambutnya jabrik dan kerjaannya menyingkap rok. 5 menit kemudian seluruh keluarga besarku menganggap aku mafia Itali yang tidak punya perasaan. Ya, Natal 2007. Kami selalu berkumpul di bawah perapian di villa Om ku yang sekarang terkena Obesitas dan tidak bisa turun dari kursi malasnya karena perutnya bisa kalian gunakan untuk kasur air. Bergelambir dan berlemak. Sangat tidak sehat. Toh berkumpul bersama keluarga besar itu tidak selamanya tentang tertawa dan bahagia bersama. Terkadang, berkumpul bersama keluarga itu hanya mempertemukan kembali akumulasi-akumulasi luka dan permsalahan yang sudah lama lewat, dan berpesta dengan argumentasi-argumentasi yang tidak akan berakhir sebelum ada yang frustasi dan membanting pintu. Keluargaku sendiri, mereka terlalu logis. Pandangannya merengkuh cakrawala teratas, membuat aku menjadi manusia yang terlalu visioner, dan melupakan tanah merah dimana aku biasa berpijak. Semuanya terasa terlalu logis sekarang. Meninggalkan rumah tidak pernah terasa salah.

Lintingan yang ini terlalu gendut nih, mesti di renovasi lagi. Segera aku buka dan menemukan ternyata masih ada batang-batang yg belum dipisahkan. Ah no wonder harganya murah, pikirku.


Btw, siapa sih ni di kamar sebelahku ? A married man? Apakah selingkuh-able?


With everything that comes with curiousity
Alexia Raisha Tumangga

#1702-1

Oke, aku tidak akan membuat ini menjadi sebuah deskripsi yang dramatis, dengan pilihan kata yang njelimet.

Dua minggu ini aku berpangku tangan setiap melihat dua brosur apartemen yang menjadi pilihan terakhir saya. Semoga pilihan yang satu ini baik.

Ha? Kenapa? Bagaimana dengan kamar lama saya? Ya, kamu tahulah. Hubungan kami memang sudah seharusnya berakhir sejak lama. Dia terlalu penuntut dan aku hanya merindukannya saat dia tidak ada. Jadi ya aku memilih untuk mengalah. Duit hasil patungan untuk membayar sewa apartemenku yang lama, aku relakan dan sebagai gantinya aku boleh membawa televisi 14 inci kami. Sampai sekarang suka bingung dengan pasangan-pasangan yang terburu sekali ingin hidup satu atap, dengan atau tanpa cincin di jari manis mereka.

Mungkin mereka belum sadar, betapa sulitnya berbagi comfort zone. Keegoisan itu adalah anugerah. Tanggung jawab itu kotoran kuda.

Maka berdirilah aku di depan koridor kamar. #1702. Tidak suka nomornya. Tapi tidak suka akan hal-hal mistis juga. Urutan angka-angka itu tidak terdengar enak saja. Entahlah. Kuncinya agak tersangkut bila aku buka dengan cara memutarnya langsung. Jadi sepertinya suatu hari aku akan berakhir mengetuk kamar depan atau sebelah, meminjam sesuatu untuk mendobrak masuk kedalam. Hanya jaga-jaga. Salah sendiri juga terlalu banyak menonton serial Friends, jadi bayangan hidup di Apartemen itu jadi selalu mengarah kearah joey dkk.

Kenyataannya? Apartemen itu hanya sebuah bukti, bahwa kita semua adalah insan-insan kesepian, yang tenggelam di dalam rutinitas. Apartemen itu sangkar. Sangkar dimana manusia tidak lagi butuh halaman belakang rumah mereka, tidak butuh teras untuk menerima tamu, tidak butuh selapang rumput untuk menyapa tanaman. Yang mereka butuh hanya wanita untuk one night stand, delivery service Chinese Food, dan berbotol-botol liquor untuk melarikan diri dari kesendirian mereka.

And here I am, melanggar janji di paragraph pertama untuk tidak njelimet. Susah sekali untuk tidak mengeluh, dengan situasi di sekitar kita. Entah aku yang kelewat normal apa dunia yang semakin gila.

And here I am, doing all the bullshit I said before. Entahlah. Di koridor lantai saya tinggal di apartemen terdahulu, di kiri kanan aku adalah mereka yang murung. Mereka yang terlalu lelah akan kenyataan bahwa mereka harus membeli susu untuk anaknya dengan gaji yang pas-pasan. Mereka yang terbangun di pagi hari dan tersadar bahwa mereka menikahi seekor monster yang kerjaannya meledak hanya karena problema yang sederhana.

Kalian juga pasti se-pesimis itu kan? Iya kan?
Nevermind.

Lantainya agak reyot ya? Itu bunyi “ngikngok” dari lantai apa dari pintu ya? Apa dari jendela? Aku lebih suka membereskan kamar pada saat pagi buta. sepertinya “selera tata letak” menjadi tinggi bila dilanda rasa kantuk. Dulu di pukul segini, biasanya kami sedang bertengkar. Entah apapun yang menjadi bahan pertengkaran. Dia sering membanting sesuatu. Dia mengancamku dengan semua ancaman terseram sedunia. Sekarang, aku duduk di sofa sendirian. Menikmati setiap detiknya untuk tidak terikat suatu apapun. Melarikan diri tidak pernah sepuas ini.

Akhirnya kembali menjadi manusia seutuhnya. Aku bisa melarikan diri di apartemen ini. Lantai reyot bukan masalah lagi ketika hidupku tidak lagi alot. Apa yang harus dibanggakan bila sudah membohongi diri sendiri? in the end of every race, realist comes first.

with everything that comes with curiosity,
Alexia Raisha Tumangga