#1706

Langit mendung.Aku bisa tahu dari tidak adanya bintang dilangit. Kata ayahku, kalau langit malam tak berbintang tandanya mendung.

Uuhh aku tak suka. Apalagi aku belum tiba di apartemenku,dan hari ini aku mengenakan sepatu dengan hak setinggi 5 cm. Repot kalau harus berlarian dari tempat angkot berhenti hingga pintu lobi.

Ya,walaupun manusia urban masa kini mengganggap adalah hal yang aneh jika kamu tinggal di apartemen namun tidak menggunakan mobil pribadi, aku tidak peduli. Aku merasa naik angkutan umum lebih praktis ketimbang harus mengendarai mobil pergi dan pulang kantor. Toh pekerjaanku sebagai seorang reporter televisi lokal Bandung, mengharuskan semua aktifitas luar kantorku dijalankan dengan menggunakan mobil operasional. Jadi, buat apa bawa mobil pribadi?

Akhirnya apartemenku sudah terlihat dari jendela angkot hijau ini. Apartemen Seguni,baru satu bulan aku tinggal disitu. Awalnya aku berkantor di ibukota,namun karena kantorku membuka cabang di kota kembang ini, aku diutus pindah untuk memegang sebuah program yang akan bercerita tentang kota bandung.

Bandung, aku pernah menghabiskan waktu 5 tahun untuk kuliah disini. Namun bandung kini dan dulu sangat jauh berbeda. Kini Bandung tidak berbeda dengan jakarta, penuh sesak dan kemacetan dimana-mana. Untung udaranya tetap tidak sepanas jakarta. Kalau iya, aku sama saja hanya memindahkan stress-pulang-kantor-di jakarta ke bandung.

Lobi apartemen cukup sepi ketika aku sampai didepan pintunya. Hanya satpam tua berkumis tebal yang tampak terkantuk-kantuk dimeja singgasananya,dan dua orang remaja tanggung di kursi tamu. Kedua remaja itu sempat melirikku dengan aneh,mungkin melihat aku yang turun dari angkutan umum. Aku tidak peduli. Langsung kutekan tombol naik di lift. Aku sudah lelah,rasanya ingin segera mandi air hangat lalu bercinta dengan kasur,bantal,guling,dan selimutku.


Agak lama aku menunggu lift. Ini biasanya berarti banyak yang naik dari lapangan parkir dilantai bawah. Yah,semoga saja lift tidak penuh.

ting.

Ini dia liftku datang. Perlahan pintu lift membuka, sesuai tebakanku lift agak penuh. Ada 3 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. 2 diantara mereka bergeser memberi tempat untukku ikut menumpang lift ini.

Dan pada saat 2 orang perempuan dihadapanku bergeser barulah aku lihat siluetnya. Tertunduk sibuk dengan telepon genggam. Tidak melihat siapa penumpang lift yang baru saja masuk.

Aku kadung terjebak dalam ruangan kecil ini. Seketika lift yang berpendingin udara ini terasa sangat panas,sesak. Aku yang bukanlah seorang kalustrophobic merasa sangat ketakutan. Bulu kudukku berdiri,dan keringat terasa mengucur dipunggung.

"shit,kenapa hari ini lift lama sekali jalannyaaaaa!" jeritku dalam hati. Aku ingin cepat sampai dilantai 17. aku tidak mau disini.

Lantai 15. Dua orang turun dilantai ini. Aduh,kapan giliran lantai 17.

Lift juga singgah di lantai 16. Seorang lelaki berpotongan seniman turun sambil bersiul. Ingin rasanya kutendang bibir monyongnya karena memperlambat gerak lift ke lantai 17.Ayo,satu lantai lagi.

Akhirnya tiba juga di lantai 17. Buru-buru aku keluar, berlari menuju kamar 1706. Tak lagi kutengok dimana dia turun. Dan kucatat dalam otakku kalau lain kali dia ada didalam lift,aku akan menggunakan tangga saja untuk sampai kekamar.

Cemen. Kenapa selalu jadi aku yang kalah? Sudahlah,aku cuma tidak mau banyak bertengkar lagi dengan diri sendiri.

Akhirnya pintuk kamar berhasil kubuka. Aku masuk dan membanting pintu dibelakangku. Aku terlalu lelah. Sejenak kusandarkan punggung ke pintu yang baru saja menutup,masih meninggalakan bunyi debam kerasnya di gendang telinga. Tas jinjing yang aku bawa kuletakkan saja disebelah kakiku. Aku butuh bernafas.

Aku pejamkan mata sambil masih bersandar di pintu. Kuangkat tangan menuju muka, berniat menggaruk pipi kanan yang tiba-tiba gatal. Tak dinyana yang kurasakan malah setetes air. Kucoba kecap air yang kini tertinggal diujung jari. asin.

Setetes lama-lama berubah menjadi aliran sungai di pipi. Hilang sudah keinginan untuk bercinta dengan kasur.


Langit Segarra Jingga

#1701

*Zap*

Brukkkk...

Aku mendarat tepat diatas tumpukan sampah. Melarak-lirik dari tumpukan sampah yang kini menumpuk diluar tong. Dari kiri ke kanan; depan kebelakang; atas bawah; takut ada yang lihat. Kudirikan badanku sambil bergoyang dan mengepak-ngepakkan tangan ke sekujur badan dengan tujuan mengusir kotoran di sekujur tubuh.

"Bersih sudah," ucapku membohongi diri.

Aku lanjutkan dengan menyusuri sepanjang jalan kota ini, karena hanya itu yang bisa kulakukan sebagai laki-laki: menyusuri. Kalau menyusui biar wanita saja. Apa jadinya aku, lelaki tegap berwajah tampan dan maskulin ini bila menyusui? Cukup Arnold Schwarzenegger yang melakukannya. Ah sudahlah, lagi-lagi ini kebiasaan burukku: selalu suka berceloteh sendiri. Ramai tapi sendiri. Orang normal tak akan mengerti ini. Butuh penjelasan panjang untuk ini seperti menjelaskan jawaban quiz parampaa.

Sambil bergumam sepanjang jalan aku sempat berpikir, seharusnya aku lebih sering datang kesini sehingga aku dapat mencari di lebih banyak tempat. Tapi nyatanya lihat aku sekarang. Hanya sendiri.

"Takutnya ia belum bisa mengendalikannya," tiba-tiba terpikir hal itu olehku.

Ya, ia bisa dimana saja ditempat ini, sulit menemukannya! Itu roh pesimis dalam diriku yang berbicara.

Ah, tidak mungkin! Nenek tua nakal penjaga lobby bilang kalau aku menemukannya disini! Dikawasan kumuh kota ini. Kalau ini roh keras kepala yang berbicara. Entah kemana roh optimisku. Asal jangan keluar, karena tidak akan tahu kemana.

Tapi rasanya sungguh geregetan karena dia belum ada wujudnya juga. Memang kecil, takutnya dia mati sendirian di luar sana di musim yang mulai tidak jelas ini.

***

Aha! itu dia, itu dia...

Dia disana, tepat diatas gerobak tua yang ditinggalkan pemiliknya yang mungkin sudah kaya karena reality show Helmy Yahya. Dia tergolek lucu, matanya yang biru tengah terbelalak; kepalanya yang dikelilingi rambut coklat yang halus bergoyang-goyang seperti pajangan di dashboard mobil; hidungnya mancung; seperti ayahnya yang seorang Portugis. Kulitnya hitam legam nan seksi; bibirnya yang tebal berkomat-kamit sendiri seperti kebiasaanku. Mungkin besarnya jadi dukun, gumamku menyaingi gumamnya.

Dia bayi yang lucu. Seonggok orok keturunan Portugal dan Burundi. Cepat-cepat kubawa dia menyusuri kota dan tiba ditempat itu. Ya, tempat yang memang kusediakan untuknya, untukku. Perlahan aku menyusuri tangga darurat menuju kamar itu sambil menimang-nimang bayi kecil berumur sehari. Aku sengaja tidak menggunakan lift, takut bertemu banyak orang dan berpikir aku tidak perjaka lagi. Cih! Sepele..

Berat juga kaki ini melewati 850 anak tangga yang entah siapa ibu-bapaknya. Betis ini sudah tambun rasanya. Langsung saja kubelokkan badan kekanan dengan berat karena powersteering sudah habis 'power'nya untuk naik tangga tadi. Setelah belok kanan, mentok, dan belok kanan lagi. Kurogoh kantongku, dengan tangan buatanku yang kutempelkan di depan pintu karena tanganku sudah penuh untuk menggendong bayi ini. Kubuka pintu lagi-lagi dengan tangan buatanku yang entah bagaimana aku bisa membuat alat sehebat itu. Nanti sajalah dipikirkan, aku sudah lelah.

Di dalam kamar, aku gesekan sepatuku ke tembok dengan harapan velcro yang mengikat kakiku dan sepatu ini lepas dan kakiku telanjang. 2 menit berlalu dan sepatu itu tetap menempel dikaki. Merasa kesal untuk hal tidak penting, aku lempar saja bayi itu ke kasur yang berada agak menyerong dariku dengan teknik parabola yang melengkung. aku lepaskan sepatu secepatnya dan segera menangkap bayi yang kulempar itu.

Aku gagal. Gagal menangkapnya. Biarkan sajalah, toh dia sudah sampai di kasur airku yang kuisi dengan air zam-zam. Pasti dia sehat walafiat.

Benar saja, dia langsung tertidur (atau pingsan). Saatnya kini aku yang beristirahat, menata masa depan yang sudah kuketahui.

Anehnya hidup ini.

*Zap*

Vivo Mwenyewe