Uuhh aku tak suka. Apalagi aku belum tiba di apartemenku,dan hari ini aku mengenakan sepatu dengan hak setinggi 5 cm. Repot kalau harus berlarian dari tempat angkot berhenti hingga pintu lobi.
Ya,walaupun manusia urban masa kini mengganggap adalah hal yang aneh jika kamu tinggal di apartemen namun tidak menggunakan mobil pribadi, aku tidak peduli. Aku merasa naik angkutan umum lebih praktis ketimbang harus mengendarai mobil pergi dan pulang kantor. Toh pekerjaanku sebagai seorang reporter televisi lokal Bandung, mengharuskan semua aktifitas luar kantorku dijalankan dengan menggunakan mobil operasional. Jadi, buat apa bawa mobil pribadi?
Akhirnya apartemenku sudah terlihat dari jendela angkot hijau ini. Apartemen Seguni,baru satu bulan aku tinggal disitu. Awalnya aku berkantor di ibukota,namun karena kantorku membuka cabang di kota kembang ini, aku diutus pindah untuk memegang sebuah program yang akan bercerita tentang kota bandung.
Bandung, aku pernah menghabiskan waktu 5 tahun untuk kuliah disini. Namun bandung kini dan dulu sangat jauh berbeda. Kini Bandung tidak berbeda dengan jakarta, penuh sesak dan kemacetan dimana-mana. Untung udaranya tetap tidak sepanas jakarta. Kalau iya, aku sama saja hanya memindahkan stress-pulang-kantor-di jakarta ke bandung.
Lobi apartemen cukup sepi ketika aku sampai didepan pintunya. Hanya satpam tua berkumis tebal yang tampak terkantuk-kantuk dimeja singgasananya,dan dua orang remaja tanggung di kursi tamu. Kedua remaja itu sempat melirikku dengan aneh,mungkin melihat aku yang turun dari angkutan umum. Aku tidak peduli. Langsung kutekan tombol naik di lift. Aku sudah lelah,rasanya ingin segera mandi air hangat lalu bercinta dengan kasur,bantal,guling,dan selimutku.
Agak lama aku menunggu lift. Ini biasanya berarti banyak yang naik dari lapangan parkir dilantai bawah. Yah,semoga saja lift tidak penuh.
ting.
Ini dia liftku datang. Perlahan pintu lift membuka, sesuai tebakanku lift agak penuh. Ada 3 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. 2 diantara mereka bergeser memberi tempat untukku ikut menumpang lift ini.
Dan pada saat 2 orang perempuan dihadapanku bergeser barulah aku lihat siluetnya. Tertunduk sibuk dengan telepon genggam. Tidak melihat siapa penumpang lift yang baru saja masuk.
Aku kadung terjebak dalam ruangan kecil ini. Seketika lift yang berpendingin udara ini terasa sangat panas,sesak. Aku yang bukanlah seorang kalustrophobic merasa sangat ketakutan. Bulu kudukku berdiri,dan keringat terasa mengucur dipunggung.
"shit,kenapa hari ini lift lama sekali jalannyaaaaa!" jeritku dalam hati. Aku ingin cepat sampai dilantai 17. aku tidak mau disini.
Lantai 15. Dua orang turun dilantai ini. Aduh,kapan giliran lantai 17.
Lift juga singgah di lantai 16. Seorang lelaki berpotongan seniman turun sambil bersiul. Ingin rasanya kutendang bibir monyongnya karena memperlambat gerak lift ke lantai 17.Ayo,satu lantai lagi.
Akhirnya tiba juga di lantai 17. Buru-buru aku keluar, berlari menuju kamar 1706. Tak lagi kutengok dimana dia turun. Dan kucatat dalam otakku kalau lain kali dia ada didalam lift,aku akan menggunakan tangga saja untuk sampai kekamar.
Cemen. Kenapa selalu jadi aku yang kalah? Sudahlah,aku cuma tidak mau banyak bertengkar lagi dengan diri sendiri.
Akhirnya pintuk kamar berhasil kubuka. Aku masuk dan membanting pintu dibelakangku. Aku terlalu lelah. Sejenak kusandarkan punggung ke pintu yang baru saja menutup,masih meninggalakan bunyi debam kerasnya di gendang telinga. Tas jinjing yang aku bawa kuletakkan saja disebelah kakiku. Aku butuh bernafas.
Aku pejamkan mata sambil masih bersandar di pintu. Kuangkat tangan menuju muka, berniat menggaruk pipi kanan yang tiba-tiba gatal. Tak dinyana yang kurasakan malah setetes air. Kucoba kecap air yang kini tertinggal diujung jari. asin.
Setetes lama-lama berubah menjadi aliran sungai di pipi. Hilang sudah keinginan untuk bercinta dengan kasur.
Langit Segarra Jingga