Mataku terbelalak kaget. Kamarku terasa ramai. Banyak suara disana-sini. Kukumpulkan tenaga untuk mendirikan setengah badanku dari kepala hingga ke pinggang. Ku terduduk sekarang.
*ceprooott!!!*
Tiba-tiba ada yang mencium dan membuatku pipi kananku merah. Seperti kisah romantis memang. Namun tak ada rasa senang ku sama sekali disana. karena itu bola golf yang baru saja menempel di pipi yang membuat pipiku merah. dan kemungkinan ungu di esok hari.
Itu kelakuan Dupul, mahasiswa berpenampilan hip-hop, yang sedang bermain mini golf di kamarku. Belum sempat meluapkan emosi padanya, perhatianku teralih kepada seisi kamar yang kini terisi banyak orang. Ada Dupupan yang sedang berdiri di balkon, Dupul yang sedang mencari bola golfnya yang entah dimana sekarang, Tipudu sang lelaki dewasa yang necis dengan jasnya duduk di kursi ujung ruangan, dan dua orang anak kecil (yang seharusnya remaja), Tibel dan Libel yang sedang berlari-lari saling berebut kartu Dragon Ball tahun 90'an. Oke, aku akui dengan orang sebanyak ini di kamarku, wajar saja bila aku terbangun.
Tibel masih saja mengejar Libel untuk mendapatkan kartu Dragon Ball hologram. Padahal mereka memiliki kartu itu masing-masing pada zamannya. Maklum, Tibel masih kurang memahami konsep waktu. Tibel terus mengejar Libel yang sudah terpojok di ujung balkon. Saking semangatnya, ia tanpa sadar menyenggol dan menjatuhkan sebuah kotak bersampul kertas warna-warni yang berada diatas meja. Waktu seakan terhenti. Hanya mata kami yang bergerak memfokuskan objek ke arah kotak tersebut. Kotak itu sebenarnya biasa saja, bahkan sudah berdebu.
***
Kami duduk berlutut mengelilingi Gawang, si kasur air zam-zam. Kotak itu kini berada tepat di tengah kasur. Jujur, kami penasaran dengan isi kotak itu. Namun begitu, toh sudah 23 tahun kotak itu tetap tidak kami buka. Entah apa alasannya.
"Kini saatnya," kata Dupul sok dewasa.
Tibel dan Libel mengangguk semangat. Sedangkan aku, Dupupan, dan Tipudu menggeleng. Bukan karena tidak setuju, melainkan menahan kesal mendengar kelakuan Dupul yang berlagak dewasa. Akhirnya Dupupan memberanikan diri mendekati dan mulai membuka kotak tersebut. Pertama ia menyobek sampul kertas dan menemukan sebuah dus berwarna dasar putih dan gambar kotak ditengahnya serta kotak-kotak kecil didalamnya. Dupupan penasaran, ia membuka kotak tersebut dan mendapati benda kotak setebal sekitar satu sentimeter. kami semua bingung benda apa itu.
"Itu iphone!!" Kata Tibel.
Kami semua mencari dimana letak mata telepon di kotak itu. Hanya ada layar sepertinya.
"Itu telepon selular zaman dulu!" Tibel menegaskan.
Kami semakin tidak berminat menyimak kalimat selanjutnya. Semua membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing. Hanya Tibel disana yang tampak terus memperhatikan benda tersebut.
"Ada suratnya juga!" Itu suara Tibel berusaha menarik kembali perhatian kami ke kotak telekomunikasi berukuran zaman belanja di Zimbabwe masih bawa koper.
"Dari John Banting!!" Lanjutnya melirik ke arah kami.
Aku sudah tahu memang Tibel paling jago menarik perhatian kami. Buktinya ia tahu betul apa yang kami sukai. Kami sangat mengidolakan sosok John Banting. Bahkan sampai mengoleksi piring hadiah sabun cuci dimana John Banting menjadi maskotnya.
"Apa isi suratnya?" Ucap kami serempak sambil menuju surat yang kini dipegang Tibel.
Kejutan Rinsooooooooo!!!!
Selamat kepada you guys karena beruntung mendapatkan sebuah hadiah handphone cantik terbaru. Terima kasih atas kesetiaan you guys menggunakan RINSO sebagai sabun cuci pakaian you guys.
NB: Hadiah termasuk nomor handphone pribadi saya yang sudah tersimpan di dalam handphone
Wasalam,
John Banting
Kami terkejut tiada tara membaca surat tersebut. Ruangan rasanya dipenuhi bunga aroma Rinso seketika. Saya langsung menghubungi nomor John Banting tanpa pikir panjang. Yang lain menunggu harap2 cemas. Rangkaian hologram muncul di hadapan kami membentuk sesosok nenek yang sedang duduk di kursi roda. Kami kaget. Seharusnya sosok John Banting yang muncul. Lalu kenapa nenek tua ini?? Kami hanya terdiam. Hingga sosok hologram itu berbicara.
"Kalian siapa? Mencari siapa?" Tanya nenek tersebut dengan suara serak.
"Mana John Banting??!!" Ujar Tibel agak keras.
"Kalian mencari John Banting?" tanya nenek itu kurang yakin.
"Iya nek, Kami baru membaca surat darinya setelah 23 tahun. Kalau boleh tau, dimana ia sekarang?" Tanyaku sopan.
Nenek itu mengeluarkan air mata dengan spontan. Tak terlihat sama sekali rekayasa kalaupun itu ternyata tipuan.
"John Banting sudah meninggal lama sekali," ucap nenek tersebut semakin terisak-isak sambil akhirnya mematikan sambungan komunikasi. Sebentuk hologram pun menghilang.
Kami hanya terdiam, kecuali Tipudu, Pria dewasa kelahiran 2010, yang selalu ingin bertemu sosok idolanya. Kini harapannya sirnah sudah. Masa depan tak selalu indah
Vivo Mwenyewe